Aku pernah membaca blog seorang teman tentang ayahnya. Dia bercerita
banyak tentang ayahnya. Bagaimana seorang ayah dengan wisenya memberi nasehat,
memberi semangat, membanggakan anaknya and anything.
Entah mengapa saat
membacanya ada haru yang membuncah dalam hati. Ada kerinduan yang tiba-tiba
muncul dengan sendirinya. Entah haru karena apa dan rindu dengan apa atau
siapa. Mungkin aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya di banggakan oleh
seorang ayah atau mungin pernah hanya saja aku tak bisa untuk mengingatnya.
Aku ditinggalkan
oleh seseorang yang kupanggil ayah ketika aku masih kecil, saat aku berumur 4
tahun. Sedikit memory yang terekam dengannya, karena otakku waktu itu belum bisa
menyimpan memory-memory dengan kapasitas banyak.
Yang sampai sekarang aku ingat
hanya saat kepergiannya, entah kenapa memory itu yang bisa kuingat. Aku masih
ingat jelas waktu itu, aku disuruh melihatnya untuk yang terakhir kali,
meskipun otakku tak dapat menyimpan gambaran wajahnya.
Dan tak lama berselang
aku diajak naik sebuah mobil yang membawaku ke suatu tempat yang mereka bilang
Sama’an, nama sebuah kuburan yang berada di kotaku. Cuaca hari itu sangat terik
yang membuatku tak mau turun dari mobil meski disuruh ikut.
Aku menunggu dalam
mobil untuk beberapa waktu dan aku tak tau apa yang orang-orang itu lakukan. Tak
lama berselang pak dhe ku datang dan juga orang-orang itu kemudian membawaku
pulang kerumah.
Sesampai
dirumah yang masih penuh dengan banyak orang, sodara, tetangga dan beberapa orang
yang aku tak pernah lihat atau kenal. Aku kembali berlari-lari dan bermain
tanpa peduli dengan orang-orang itu.
Dan tanpa sengaja mendengar kata-kata dari
tanteku “ Yu lika (mamaku) jare gak bakal nagis, eh mulih tekan kuburan nangis”
(“Mbak lika ( mamaku ) katanya gak akan nangis, eh pulang dari kuburan nangis”).
Aku juga tak pernah mengerti kenapa sampai sekarang aku bisa ingat kata-kata
itu. Secara aku adalah seorang anak 4 tahun waktu itu.
Yang kini
ku mengerti, mamaku berusaha untuk tak manampakkan kesedihannya waktu itu,
berusaha tampil tegar, tetapi ketegarannya akhirnya runtuh ketika ayahku sudah
benar-benar pergi meninggalkan rumah untuk pergi ke dunia yang tak sama lagi
dengannya denganku, yang tak pernah bisa kembali lagi.
Aku tak
pernah tau dan tak bisa mengerti kenapa memory yang terekam di otakku hanyalah
tentang kepergiannya. Kenapa bukan saat aku digendong olehnya, di peluk, di
cium, disayang olehnya. Aku tak pernah ingat bagaimana takutnya saat dimarahi
olehnya, atau bagaimana bahagianya saat dibangggakan olehnya.
Aku hanya bisa
melihat memory indah bersamanya lewat foto, dimana aku di gendong olehnya, di
cium, dipeluk, di sayang dan itu bukan dari memory otakku.
Pernah
seorang teman bertanya padaku “ Kamu gak sedih waktu itu?” dan aku menjawab “
Aku sudah ditinggalkan sejak aku kecil, sehingga aku sudah terbiasa tanpa dia,
jadi aku gak pernah ngerasa sedih atau kangen, tak ada ingatan tentang dia”.
Tapi semua itu sekarang berkebalikan dengan apa yang aku rasakan sekarang,
setelah membaca blog temenku itu. Aku jadi iri sama kalian-kalian yang masih
punya sosok yang dipanggil ayah.
Jadi buat kalian-kalian yang masih mempunyai
seorang ayah, hormati dia, sayangi dia, jagalah dia. Karena kalian sangat beruntung
masih bisa merakit memory-memory bersamanya.
Untuk Dia yang Ku Panggil Ayah
Aku tak pernah mengenalmu,
tetapi selalu ada doa untukmu
Aku tak pernah merasakan kehadiranmu,
tapi aku tau kau selalu ada di sampingku
Menemaniku, menjagaku, mengawasiku
Karena darahmu ikut mengalir dalam tubuhku
Kau wariskan sifatmu dalam diriku,
meskipun aku tak tau bagaimana sifatmu
Aku sudah lupa dengan gambaran wajahmu
Tapi kata mereka aku sangat mirip denganmu
Kau, Seseorang yang ku panggil ayah
Meskipun aku tak pernah bisa merasakan
Tapi aku akan selalu mengerti
Kalau kau menyayangiku
Dan lihatlah aku sekarang
Yang akan berusaha untuk membuatmu bangga
Bangga karena mempunyai anak aku
Tidak ada komentar
Posting Komentar