Judul : Cantik itu Luka
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 505 hlm ; 3.2 cm
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 505 hlm ; 3.2 cm
Pertama tau karena baca cuplikan-cuplikan kalimat dari instastories seorang teman yang notabene anak sastra, terus jadi tertarik deh. Setting waktunya di masa Kolonial Belanda bikin saya jadi tambah penasaran karena teringat novel berjudul "Maharani" dengan setting waktu yang sama yang ceritanya bagus banget Dan akhirnya dapat pinjaman buku ini dari seorang teman *gak modal banget ya wkwkw.
Karena ini kali pertama saya baca novel Eka Kurniawan yang di bandrol 20+ jadi rada syok juga karena bahasanya yang vulgar. So, buat adek-adek yang masih dibawah usia 20 jangan baca dulu ya, nanti bisa merinding disko lo haha *emangnya film horor. Ya walaupun ada cerita hantu-hantunya dikit sich hehe.
At all saya sukak banget sama gayanya Eka Kurniawan. Terutama dalam penggambaran tokoh. Pembentukan karakter tokoh-tokohnya di jabarkan dari mulai mereka lahir. Mulai dari asal-usul keluarga, lingkungan sekitarnya, orang tua dan kejadian-kejadian yang akhirnya membentuk karakter tokoh hingga sampai saat ini.
Contohnya saja untuk tokoh Kamerad Kliwon, seorang anggota partai komunis yang ternama di Halimunda. Di jelaskan bahwa bapaknya dulu juga merupakan seorang komunis yang akhirnya meninggal ditembak mati oleh Jepang. Kemudian dia pernah berdiskusi dengan teman bapaknya, seorang Komunis yang pernah sekolah ke Rusia. Dan akhirnya jadilah Kamerad Kliwon anggota partai komunis paling berpengaruh di Halimunda.
Alur ceritanya maju mundur. Dimulai dari bangkitnya Dewi Ayu setelah dua puluh satu tahun kematiannya dan dilanjutkan dengan kisah keturunannya di tahun-tahun sebelum dia meninggal. Selain itu dalam satu waktu yang sama terdapat cerita dari dua sudut pandang tokoh yang berbeda. Sehingga membuat pembaca mampu memahami cara berfikir tiap tokoh dan pengambilan keputusan tiap tokoh yang sesuai dengan karakter mereka masing-masing.
Setiap tokoh digambarkan dengan sikap baik dan buruknya. Semisal tokoh Maman Gendeng, seorang raja preman di Halimunda dengan sikapnya yang beringas tapi terhadap istri dan anaknya dia begitu lemah lembut dan sayang.
Bagi saya buku ini seperti kumpulan kisah cinta yang selalu berakhir tragis. Dari yang cinta yang tak bisa bersatu, pengkhianatan, pemaksaan cinta dan cinta dalam diam. Aaah rumit banget ya kalo masalah asmara gini. Kayak kata Cu Pat Kai dalam kera sakti "Cinta deritanya tiada akhir" *weleh-weleh.
Tapi saya suka dengan penyajian drama asmaranya. Manis. And the best love story yang bikin saya senyum-senyum sendiri kayak baca sms dari tambatan hati adalah kisah Alamanda dan Kamerad Kliwon. Mungkin kalo dibikin film palingan kayak kisah-kisah Ftv gitu sich, tapi karena penyajian Eka Kurniawan yang apik jadi kerasa manis.
Malu-malu tapi mau. Setiap tokoh yang jatuh cinta pasti di gambarkan "menggigil" saat teringat pujaan hatinya. Emang iya ya kalo jatuh cinta bisa menggigil gitu *serius tanya. Maklum yang nulis lupa gimana rasanya jatuh cinta.
Di akhir kisah, di ceritakan kenapa semua keturunan Dewi Ayu memperoleh kisah cinta dengan akhir yang menyedihkan, padahal mereka dilahirkan dengan wajah yang cantik rupawan seperti ibunya (kecuali anak yang terakhir yang bernama Cantik).
Tidak ada komentar
Posting Komentar